masukkan script iklan disini
BANJAR - CIREMAIPOS.COM,- Program wajib belajar yang digencarkan pemerintah ternyata belum sepenuhnya dirasakan oleh anak-anak dari keluarga tidak mampu. Yang mana telah tertera di UUD 1945 pasal 31 ayat (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. UU Desa no 6 tahun 2014 pasal 67 ayat (2) hurup b
Desa berkewajiban menyelenggarakan pelayanan dasar bagi warganya, pendidikan merupakan pelayanan dasar. Desa wajib mengalokasikan program Perlindungan sosial ( dari DD ) agar anak miskin bisa sekolah.
Kasus yang menimpa Dela Safitri, bocah berusia 9 tahun asal Dusun Rancakole, RT 007/002 Desa Mulyasari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, menjadi bukti nyata. Hingga kini, Dela belum pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar karena alasan biaya.
Padahal, pemerintah desa setempat memiliki alokasi dana desa (DD) yang seharusnya digunakan untuk membantu keluarga kurang mampu, terutama untuk mendukung anak-anak yang membutuhkan perlengkapan sekolah. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada warga yang justru luput dari perhatian.
Saat dimintai penjelasan, Kepala Desa Mulyasari, Wawan, mengakui bahwa dana bantuan untuk pendidikan memang tersedia.
“Memang betul ada anggaran yang diperuntukkan bagi masyarakat keluarga tidak mampu. Itu khusus bagi anak yang masih sekolah, dan pendataannya langsung dari pihak sekolah. Program ini sudah berjalan,” ujarnya.
“Untuk Dela Safitri yang warga Dusun Rancakole, RT 007/002, saya tidak menerima laporan atau data yang masuk. Walaupun keluarganya sudah menyampaikan ke pengurus lingkungan setempat, sebagai kepala desa saya tetap menunggu data resmi,” katanya menambahkan.
Namun, keterangan keluarga Dela justru berbanding terbalik. Saat dikonfirmasi, keluarga menyatakan tidak pernah menerima bantuan apa pun dari pemerintah desa.
“Keluarga kami sudah menyampaikan ke pengurus lingkungan, tapi sampai sekarang Dela tidak pernah dapat bantuan untuk kebutuhan sekolahnya. Padahal, dia sangat butuh buku, sepatu, tas, dan seragam,” ungkap bibi Dela.
Menurut sang bibi, Dela kini sudah berumur sembilan tahun. Namun karena terkendala biaya, ia sama sekali belum terdaftar di sekolah dasar. Kondisi ini membuat masa depan pendidikan Dela semakin terancam.
“Kalau tidak ada perhatian, anak ini bisa kehilangan hak dasarnya untuk belajar,” tuturnya.
Dela adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Gunawan dan Neni. Kedua orang tuanya merantau ke kota untuk bekerja, sehingga Dela tinggal bersama kakek dan neneknya di kampung. Sayangnya, keterbatasan ekonomi membuat ia terpaksa menunda sekolah, sementara teman-teman sebayanya sudah lama duduk di bangku kelas.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius: sejauh mana mekanisme pendataan dan distribusi bantuan dana desa berjalan sesuai aturan? Jika benar bantuan sudah berjalan, mengapa ada anak yang sangat membutuhkan justru terabaikan?
Pemerhati pendidikan di Banjar menilai bahwa kasus seperti ini tidak boleh dianggap sepele. Program wajib belajar sembilan tahun tidak boleh hanya menjadi slogan yang diceramahkan setiap tahun, melainkan harus diwujudkan dengan kerja nyata.
“Kalau masih ada anak yang gagal masuk sekolah karena biaya, jelas ada masalah dalam tata kelola dana desa maupun koordinasi antar-pihak,” ujar salah satu pemerhati pendidikan yang enggan disebutkan namanya.
Kini, harapan keluarga besar Dela Safitri hanya satu: adanya perhatian dari pemerintah desa maupun dinas terkait agar Dela segera bisa mendaftar ke sekolah dasar. Sebab, pendidikan adalah hak dasar yang dijamin undang-undang, dan negara tidak boleh abai terhadap warganya sendiri.
/Agus pratama.