KUNINGAN, CIREMAIPOS.COM – Dugaan praktik pengadaan bermasalah kembali mencuat di dunia pendidikan Kabupaten Kuningan. Kali ini, pengadaan buku induk peserta didik menjadi sorotan karena dinilai tidak transparan dan sarat kepentingan.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, proses distribusi buku tersebut dikoordinasi oleh oknum di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan, serta melibatkan peran aktif Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S).
Penyedia buku induk disebut-sebut telah “dikunci” sejak awal oleh pihak tertentu, tanpa memberi ruang kepada sekolah untuk melakukan pemilihan secara mandiri melalui Sistem Informasi Pengadaan di Sekolah (SIPLah), yang notabene adalah platform resmi pengadaan barang yang dijamin oleh pemerintah.
“Dari awal sudah diarahkan. K3S yang memfasilitasi pengumpulan data dan menyebarkan informasi penyedia. Sekolah tinggal ikut saja,” ungkap salah satu kepala sekolah dasar di wilayah timur Kuningan, yang meminta identitasnya dirahasiakan, Jumat (25/4/2025).
Ia juga mengungkapkan bahwa harga satuan buku yang dibeli jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga sebenarnya di SIPLah. “Kalau dibandingkan, selisihnya bisa sampai dua kali lipat. Padahal buku sejenis bisa kami dapatkan lebih murah jika beli langsung lewat SIPLah,” keluhnya.
Analisis Hukum: Potensi Pelanggaran Aturan Pengadaan
Dugaan praktik pengkondisian ini tidak hanya melanggar prinsip transparansi, tetapi juga dinilai berpotensi menyalahi aturan hukum yang berlaku. Beberapa regulasi yang relevan antara lain:
Permendikbud Nomor 14 Tahun 2020, yang mengatur bahwa pengadaan barang oleh satuan pendidikan harus dilakukan secara langsung oleh sekolah melalui SIPLah.
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menekankan asas efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001), yang menyebut bahwa penyalahgunaan kewenangan dalam pengadaan yang menimbulkan kerugian negara dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Jika benar terjadi pengkondisian penyedia, markup harga, serta koordinasi di luar prosedur resmi, maka praktik tersebut tidak hanya melanggar aturan administrasi, tetapi juga bisa masuk ke ranah pidana.
Efisiensi Anggaran Diabaikan
Seharusnya, sekolah memiliki otonomi penuh untuk menentukan sendiri kebutuhan dan penyedia pengadaan melalui sistem resmi. Namun dengan pengkondisian seperti ini, efisiensi anggaran terabaikan. Padahal, selisih harga yang terlihat kecil di satu sekolah, jika terjadi secara kolektif di ratusan sekolah, bisa berdampak signifikan.
“Kalau tiap sekolah beli 2 buku dengan selisih harga mencapai Rp200.000,- per buku, satu sekolah saja sudah rugi Rp400.000. Dikali ratusan sekolah? Ini bentuk pemborosan anggaran yang nyata,” tambah sumber yang sama.
Dugaan keterlibatan K3S dalam proses ini pun menambah keruh persoalan. Sebagai organisasi profesional, K3S semestinya berperan mendukung peningkatan mutu pendidikan, bukan justru menjadi bagian dari skema distribusi pengadaan yang menguntungkan pihak tertentu.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Dinas Pendidikan maupun K3S terkait dugaan ini. Masyarakat pun berharap adanya penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan kebenaran informasi dan mencegah praktik serupa terjadi kembali di masa mendatang.(AS)